Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang

“Kupikir, aku sudah menemukan jawaban. Aku ingin bertemu Malaikat Maut. Situasi yang terjadi selama belasan tahun terakhir ini terasa berat tanpa kehadiran istriku, dan aku sudah bosan. Aku mau mati secepatnya.” h.37

Ncek, salah satu panggilan seorang pria tua Tionghoa yang jengkel dengan apapun di sekitarnya. Berulang kali, anak-anaknya menjadi omelan utamanya. Meski, sebenarnya aku merasa Ncek ini marah sekaligus sedih dengan upaya anak-anaknya untuk meletakkan streples di sela-sela makanannya, namun ditutupinya dengan omelan dan sindiran, yang kemudian ditunjukkan dengan kemampuannya untuk melawan, meski rasa sedih buah dari kasih sayangnya yang membuatnya menahan untuk tidak kebablasan.

Ncek memutar otaknya untuk mengundang kematian tanpa melakukan bunuh diri, karena dia sudah berjanji kepada istrinya untuk tidak melakukannya. Permasalahannya, dia telah berjanji kepada istrinya sebelum meninggal untuk menjaga anak-anak. Laki-laki pantang melanggar janji.

Persiapannya pun tidak main-main, Ncek menyiapkan tempat, pesanan katering terbaik. Proses mengundang malaikat maut harus menjadi momen terbaik, pun di dalam persiapannya Ncek juga berusaha mengobati masa lalu.

Seiring dengan perencanaan Ncek untuk mengundang malaikat maut, alur cerita maju-mundur ke masa-masa dia kecil hingga berhasil menikahi gadis yang selalu dia ‘pantau’. Berlanjut dengan kawin lari dan tragedi 1965 yang membuatnya memendam rasa bersalah hingga akhir. Keinginan untuk menyelesaikan dan mengobati masa lalunya

“Tahun-tahun itu (1965) menegaskan bahwa satu-satunya cara bertahan hidup adalah menjaga diri agar tidak mati. Itu sudah lebih dari cukup karena setelahnya banyak orang hilang, bahkan mayatnya tidak ditemukan—kalau benar dia mati.” ~ h.143.

Kejengkelan Ncek disemburkannya dengan kalimat-kalimat sarkas, yang digunakan untuk menyelipkan kritik sosial; pendidikan yang tidak membuahkan sosok yang realistis dengan kondisi di “lapangan”; lalu, sejarah kelam yang pasti akan terus melekat kuat setiap kali tahun 1965 disebutkan.

“Rasanya aku ingin menuntut pemerintah yang sudah menyusun kurikulum pendidikan nasional yang gagal membuat anak-anak memiliki kemampuan memahami makna bacaan. Memberantas buta huruf sambil menyabotase kemampuan membaca adalah sebuah ketidakmasukakalan.” ~ h.108.

“Mereka lupa bahwa hidup adalah perkara-perkara yang ada di luar pagar gedung sekolah—tempat kepintaran dan kebodohan benar-benar diuji kualitasnya. Sekolah gemar membuat seorang anak terlambat menyadarinya.” ~ h.56.

Di balik setiap gerutuan lelaki tua ini, juga tersimpan kebahagiaan, layaknya hidup dengan segala rasa, manis-pahit-asam-gurihnya, yang melengkapi rangkaian hikmah di setiap langkah dari usia yang tak kenal kata mundur. Semakin tua, mata akan merabun, tetapi mata hati bertambah tajam menyimak pesan di balik setiap kejadian.

“Manusia berutang budi pada semua kepahitan dalam hidupnya, pada masa lalu, juga pada kenang-kenangan yang hendak dilupakan, karena kebahagiaan tidak punya kekuatan yang lebih besar daripada kepahitan untuk mengubah hidup seseorang, juga nasibnya.” ~ h.139.

“Tapi, aku tahu: ketika manusia memiliki kebebasan absolut, bisa jadi, sesungguhnya dia merindukan ikatan. Manusia butuh pulang, dan manusia tidak bisa pulang kepada kebebasan. Manusia pulang kepada ikatan.” ~ h.34.

Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang | Wisnu Suryaning Adji | Bentang Pustaka | Cetakan Pertama, Desember 2022 | 266 hlm

Leave a comment