Peti Tertutup – Sophie Hannah

“… Justru dia yang mendatangkan polisi. Kau, mon ami. Dan dia berbuat lebih dari itu: dia mendatangkan juga detektif ulung: Hercule Poirot.” ~ h.102 “Kita disini untuk mencegah pembunuhan.” ~ h.106

Edward Catchpool dan Hercule Poirot mendapatkan undangan hadir di rumah seorang penulis ternama, Lady Athelinda Playford. Kehadiran mereka pun telah diatur waktunya sebelum Sang Lady mengumumkan perubahan surat wasiat yang potensial untuk menciptakan pembunuh. Pengumuman yang memang menghasilkan hiruk-pikuk, kepanikan, sindiran, dan kebencian tepat di depan hidung sang detektif ulung, Hercule Poirot. 

Apakah menurutmu tidak menarik bahwa begitu banyak orang yang memiliki minat khusus terhadap kematian, baik secara pribadi maupun profesional, berkumpul di sini, di Lilieoak, pada waktu yang sama?” ~ h. 46

Kredibilitas seorang Hercule Poirot ternyata tidak mampu menghentikan pembunuhan di dalam rumah Lady Playford. Antisipasi yang dilakukan Hercule Poirot dan Edward Catchpool gagal ketika malam itu juga terdengar jeritan kengerian dari Sophie saat melihat lelaki yang dicintainya, Joseph tergeletak dengan kepala hancur. Penyelidikan pun dimulai, masa lalu sedikit demi sedikit terbuka, dan kebohongan-kebohongan tersibak, sisi psikologis menjadi faktor penentu di dalam analisis dan penyelesaian kasus Peti Tertutup.

Berbicaralah, dengarkan, dan simak apa yang dikatakan kepadamu, setiap kata. Semakin banyak orang berbicara, semakin banyak yang mereka ungkapkan. Kau tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini, Catchpool. Aku, aku tidak membuang waktu sedetik pun. Aku terus berbicara, dan mendengarkan.” ~ h.311

Nama Agatha Christie dan Hercule Poirot menjadi alasan di balik keputusan membaca seri kedua karya Sophie Hannah ini. Meski, sadar pasti ada perbedaan antara Agatha Christie dan Sophie Hannah, tetapi tetap saja ada harapan bisa mendapatkan kembali vibe sang ratu detektif dan analisis Hercule Poirot dengan plot cerita yang ‘segar’. Namun, hasilnya vibe tidak terasa dan karakter Hercule Poirot juga kurang ‘nendang’. 

Bagian yang paling menjengkelkan adalah penyelesaian kasusnya, benar-benar menyebalkan. Membaca argumen berlembar-lembar yang dibangun sepanjang cerita seperti buang-buang waktu. Kunci penyelesaian kasusnya membuat nama ‘Agatha Christie’ di bagian sampul seperti tempelan, tidak ada detail-detail kecil yang terselip dalam cerita menjadi bahan yang terangkai untuk mendukung terbongkarnya sebuah kasus.

Meski begitu, untuk motif di balik pembunuhannya, saya apresiasi karena baru pertama kali ini saya menemukan alasan semacam ini.

“… tidak ada lagi misteri yang menggairahkan kehidupan kami yang menjemukan. Yang terpenting, tidak ada lagi peluang dari Claudia untuk berkeliaran dengan sikap mengancam di tempat ini, seolah-olah sewaktu-waktu dia bisa membocorkan rahasia itu dan menimbulkan keributan besar.” ~ h.287

Selain itu, bagian yang menarik dari kisah ini bukan misterinya tetapi sisi psikologis terkait alasan-alasan di balik kecenderungan manusia untuk membiarkan kebohongan terjadi di sekitarnya, demi memenuhi hasratnya. Dan, tentang kejiwaan dari si korban yang sedemikian akut dengan kebohongan yang diciptakannya. Sayangnya sumber kejiwaan ini tidak terkuak, bahkan ketika Hercules Poirot harus bepergian yang ternyata hanya untuk menyibak kasus pembunuhan lain dan pertemuan-pertemuan yang dilakukan korban.

Kasus dan penuntasan yang terlalu sederhana, untuk disandingkan dengan tokoh Hercule Poirot yang selama ini saya kenal di dalam novel-novel Agatha Christie.

“Kau mengerti, dalam situasi normal, orang-orang yang berbohong dengan sama mudahnya seperti bernafas tidak pernah mengakuinya. Mereka memiliki kemampuan tak terbatas untuk terus menciptakan kebohongan baru yang menjelaskan kebohongan yang lama. Menurutku ini bukan masalah moralitas, melainkan penyakit kejiwaan.” ~ h.344

Peti Tertutup • Closed Casket • Sophie Hannah • Gramedia Pustaka Utama • Cetakan kedua, Februari 2019 • 448 halaman

Leave a comment